Urusan pengawasan impor sapi hidup di negeri ini masih lemah. Penilaian ini diutarakan Ketua Umum Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) drh Tri Satya
Naipospos. Doktor ahli epidemiologi ini mengatakan, yang selama ini
dilakukan adalah pengawasan kesehatan hewan di negara asal. Sementara
ketika hewan itu masuk atau sampai di Indonesia, pengawasannya longgar.
Sampai hari ini sebagian besar pemasukan sapi hidup di Indonesia berasal
dari Australia. Ia mengatakan, salah satu kesalahan besar adalah,
begitu sapi datang langsung masuk kandang atau
peternakan feedlot (penggemukan sapi) yang sekaligus ditetapkan sebagai tempat karantina sementara.
Dan itu, bukanlah prinsip karantina. Berdasarkan UU (Undang-Undang)
peternakan terdahulu, ternak tersebut harus masuk karantina di lokasi
yang sudah ditentukan sebelum masuk kandang feedlot. “Sayangnya
pemerintah tidak pernah memikirkan pengembangan infrastruktur karantina
hewan,” kata wanita yang biasa disapa Tata ini. Ia berpandangan, tidak
konsistennya penerapan karantina selama ini harus jadi pertimbangan
dalam mengeluarkan izin pemasukan hewan ruminansia.
Sementara menurut Ketua 3 Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI),
Prof Bambang Pontjo Priosoeryanto, dalam penerapan pengawasan karantina
bisa pre, at, and post border (sebelum, saat, dan setelah melewati perbatasan). Ia menjelaskan, kalau pre, pemerintah perlu memeriksa ke negara asal sejauh mana penerapan pengawasan kesehatan hewan.
Dan untuk itu peran otoritas veteriner menjadi krusial. Keluar masuknya
ternak harus dalam pengawasan otoritas veteriner. Tentu saja secara
kelembagaannya harus dipersiapkan sebelum melakukan pemasukan ternak
dari luar negeri. “Lembaga ini resmi bentukan pemerintah dan harus
melibatkan para stakeholders, supaya keputusan yang diambil benar-benar kepentingan bersama dan benar-benar dipertimbangkan risikonya,” saran Bambang.
Analisa Risiko
Menurut Tata, model pengawasan pemasukan hewan ternak harus mengacu
analisa risiko. Hal ini karena setiap jenis dan komoditas ternak punya
analisa risiko yang berbeda pula. Jelas hewan hidup jauh lebih besar
risikonya ketimbang daging. Dan imbuh dia, ketika pemerintah membuka
peluang pemasukan ternak hidup dipastikan pengawasannya lebih sulit, dan
risiko lebih besar.
Sementara menurut Bambang, faktor utama yang perlu dipertimbangkan
sebelum mendatangkan ternak dari luar negeri antara lain status penyakit
hewan di negara asal, bagaimana perlakuan pengawasan kesehatan hewan di
negara tersebut, dilihat cara penanganan ternak di negara asal,
termasuk melakukan analisa risiko. “Kemungkinan apa saja yang bisa
terjadi dan apa saja yang harus dipersiapkan,” ujar Bambang.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock Edisi 186 / Maret 2015
0 comments:
Post a Comment
Anda ingin menjadi Bahagian dari Perubahan??? login ke Sahabat Kemenangan di bagian atas webblog ini.